Otonomi Daerah
Di susun Oleh
Akuntansi Manajerial
4111101018
Mata Kuliah Kewarnegaraan Politeknik Negeri Batam TA 2012/2013
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Otonomi
Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya Negara kesatuan Republik
Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang dipayungi oleh Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 (Haris, 2005). Sedangkan inti dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power)
untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas,
dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya.
Perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga ditandai dengan
diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, yang telah membawa perubahan fundamental dalam sistem
Pemerintahan Daerah, yaitu dari sistem pemerintahan yang sentralistik kepada
desentralisasi. Sistem pemerintahan desentralisasi ini merupakan
penyelenggaraan pemerintahan yang dititik beratkan kepada daerah Kabupaten/Kota
sehingga daerah Kabupaten/Kota memiliki keleluasaan untuk mengelola rumah
tangga daerahnya dengan prinsip otonomi daerah, termasuk pelaksanaan pengelolaan
keuangannya yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ISI
desentralisasi
dan otonomi daerah
Tujuan
utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik,
sehingga ia berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai
kecenderongan global dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat
diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional
yang bersifat strategis. Kedua
dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan lebih
dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan
pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan
terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan
semakin kuat. Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi
bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian
sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh
sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks
hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang
dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu:
(a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan
tugas-tugas otonomi; dan
(b) sebagai agen pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu:
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu:
(b) asas dekonsentrasi; Pada asas
dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur
pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah
dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas
melaksanakan.
c) asas
tugas pembantuan : Sementra
Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah
daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan
urusan-urusan pemerintah pusat .
* Desentralisasi
saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara
universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini
sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan
secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan
masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan
demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut
dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan
pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang
merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara
lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan
desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah
pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi . Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat
kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam
mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk
secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi . Undang-undang
no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi desentralisasi menurut para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan .
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia . Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan
dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local
government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang
ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih
rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara
desentralisasi dengan sentralisasi . Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh
pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan
wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga
yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk
membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang .
Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan :
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah
dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu
indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah .
A. Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan kekhasan daerah. Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945
berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia,
yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa
dasar pertimbangan:
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga
risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif
minim;
2.
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan
pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat
di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan
kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan
di seluruh pelosok tanah air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk
lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
3.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
5.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru
berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan
stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi
Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima,
digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar
partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak
prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama
keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan
inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur
sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu
pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Selanjutnya
yang dimaksud dengan Daerah
Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga
meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga
prinsip:
1.
Desentralisasi,
penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada
Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
2.
Dekonsentrasi,
pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
3.
Tugas Pembantuan (medebewind),
tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan
kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik
untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga)
orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan
dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan
Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk
masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya,[10] dengan
hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang
berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu
olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta
mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan
kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28,
dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta
keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan),[12] dan
kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA
dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis
Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta
mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama
Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan
peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang
yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d)
memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang
pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak
bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen
politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol
dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun
1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah
pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi
di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda
Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke
rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah
jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan
integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
1.
melakukan pembagian kekuasaan
dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan
memberikan otonomi kepada daerah;
2.
pembentukan negara federal; atau
3.
membuat pemerintah provinsi
sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie
memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal
yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang
sebelumnya antara lain :
2.
Prinsip yang menekankan asas
desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang
selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan
lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.
3.
Beberapa hal yang sangat mendasar
dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah
diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat,
yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam
Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik
luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai
kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat
I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai
daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur
dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya
menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan
tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi,
tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan
dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Propinsi meliputi wilayah
laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang
wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah
laut propinsi.[15]
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari
Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah
daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala
daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala
wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh
Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan
Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10.
Daerah dibentuk berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah
lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
11.
Setiap daerah hanya dapat
memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala
daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.
Daerah diberi kewenangan untuk
melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah,
berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.
Kepada Kabupaten dan Kota
diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas.
Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten
dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.
Pengelolaan kawasan perkotaan di
luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola
tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui
berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga
memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala
Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan
pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah
dan Kandep dihapus.
15.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung
jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila
pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh
DPRD.
KESIMPULAN
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang system pemerintahan
daerah yang berlaku di Negara RI mengalami beberapa kali perubahan karena
Undang-Undang yang mengaturnya itu berbeda-beda dan bersumber pada
Undang-Undang Dasar tidak menganut azas yang sama. Selain itu juga system
pemerintahan daerah sebelum proklamasi kemerdekaan sudah dikenal orang pada
zaman penjajahan Hindia-Belanda dan Jepang.
Arti penting Otonomi Daerah-Desentralisasi:
1.
Untuk terciptanya efisiensi-efektifitas penyelenggraan
pemerinntahan;
2.
Sebagai sarana pendidikan politik;
3.
Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan;
4.
Stabilitas politik;
5.
Kesetaraan politik
6.
Akuntabilitas publik.
SARAN
Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di
seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan
bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar
keutuhan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-san\ma dengan
dekonsentrasi.
PENUTUPAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
D.
Riant Nugroho., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan
Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: PT. Alex Media
Komputindo, 2002.
·
Gie,
Liang., Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik Indonesia,
Jidil III, Jakarta: Gunung Agung, 1989.
·
Huda,
Nimatul., Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Problematika, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
·
Manan,
Bagir., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
·
Muslimin,
Amrah., Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1982.
·
Rasyid,
M. Ryaas., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
0 komentar:
Post a Comment